Kriiinggg. Waktu menunjukkan pukul 4.00.
Dengan sigap Rahman terbangun dari mimpi
indahnya semalam. Alarm sederhana pemberian dari salah seorang sahabatnya
berbentuk Manchester United yang berada di sekitar meja belajar itu yang telah
membangunkan Rahman. Rahman sudah terbiasa bangun pada pukul 4.00 dini hari
untuk persiapan menjalankan kewajiban umat muslim. Ia tidak pernah merasa
terbebani dengan aktifitas tersebut, justru Rahman merasa resah dan gelisah
apabila meninggalkan kewajibannya.
Rahman menyusuri rerumputan hijau yang
terlihat basah karena sisa hujan tadi malam yang deras mengguyur desanya.
Sepanjang perjalanan Rahman menuju ke Masjid Al-Munawarah hanya membutuhkan
waktu sekitar 5 menit saja.
Usai menunaikan shalat subuh secara
berjamaah, Rahman hendak kembali ke rumah. Rahman tinggal bersama Ibunya yang
bernama Aisyah dan seorang adiknya bernama Kalisa. Ayah Rahman sudah berpulang
kerahmatullah sejak Rahman berusia 5 tahun. Saat ini Rahman lah yang menjadi
tulang punggung keluarganya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah adiknya
walaupun saat ini Rahman masih duduk di bangku SMA.
“Ibu, Rahman berangkat ke sekolah dulu
yaa”. Ucap Rahman sembari mencium tangan ibunya.
“Iya, hati-hati ya nak. Belajar yang
benar, kelak engkau akan menjadi anak yang membanggakan untuk Ibu”. Ibu Aisyah mengelus
kepala Rahman sebelum Rahman berangkat ke sekolah.
Rahman meninggalkan rumahnya. Di tepi
jalan, terlihat beberapa siswa yang sedang berdiri menunggu angkutan umum, tak
terketinggalan Rahman. Rahman menggunakan angkutan umum menuju ke sekolah sebab
jarak antara rumah dan sekolah rama terbilang cukup jauh dan tidak dapat
ditempuh dengan berjalan kaki.
Di tengah perjalanan, Rahman bergumam
dalam hati, “Ya Allah, jadikanlah hari ini menjadi hari yang lebih baik dari
pada hari kemarin. Aaminn.”
Membutuhkan sekitar 10 menit untuk sampai
di sekolah. Perlahan, Rahman turun dari angkutan umum dan menyodorkan dua
lembar uang seribu kepada supir angkot itu. Langkah demi langkah yang
mengantarkan Rahman hingga ke ruang kelas, tepatnya di kelas 3 Ipa 1. Kurang
lebih sebulan lagi Rahman akan menghadapi Ujian Akhir Nasional yang menentukan
apakah ia lulus dan akan melanjutkan studynya ke perguruan tinggi.
Bel berbunyi pertanda akan dimulainya mata
pelajaran pertama. Rama merupakan siswa teladan di sekolahnya. Ia sering kali
meraih juara kelas dan berbagai prestasi lainnya di bidang akademik maupun non
akademik.
“Pagi anak-anak, maaf ya ibu agak telat
masuknya” Ujar salah seorang guru matematika.
“Pagi, Buuu”, Teriakan kecil siswa Ipa 1.
“Anak-anak, sekarang kalian buka bukunya
Bab 7 mengenai Logatitma dan kerjakan soal Uji Kemampuan yang berada di halaman
102”
Siswa-siswi mengerjakan soal matematika
dengan sangat teliti. Waktu demi waktu telah berlalu, hingga tak terasa bel
pulang telah berbunyi. Siswa berhamburan keluar kelas menuju ke area depan
sekolah.
“Assalamu Alaikum, Ibuuu Rahman pulang
buu”. Teriakan Rahman dari pintu depan rumah sembari mencari Ibunya.
“Waalaikum salam, Rahman sudah pulang?”,
Tanya Ibu Aisyah.
“Iya buu, Rahman capek bu. Oh iya bu,
Sebulan lagi Rahman akan Ujian Nasional bu. Sepertinya untuk beberapa waktu
kedepan Rahman gak bisa ngajar anak-anak Privat bu, soalnya Rahman pengen fokus
sama ujian dulu”.
Sudah 2 tahun lamanya Rahman mengajar
anak-anak di desanya untuk mahir dalam berbahasa inggris.
“Iya terserah Rahman aja, Kalau itu memang
keputusan Rahman, Ibu selalu mendukung dari belakang. Ya sudahh, Rahman makan
siang dulu terus istirahat, di meja ada tempe goreng dan sambel yang sudah ibu
siapkan.” Perintah Ibu Aisyah.
Tak terasa azan magrib sudah berkumandang.
Dengan sedikit tergesa-gesa Rahman mengambil air wudhu kemudian menuju ke
masjid. Selepas shalat magrib, Beberapa doa sempat dipanjatkan Rahman sebagai
penutup shalatnya.
“Yaa Robbi.. senja-Mu telah kembali dan
hambaMu kembali menghampiri. Ya Robbi sebentar lagi hamba akan menghadapi detik-detik
yang sangat menegangkan dalam hidup hamba. Hamba mohon berikanlah kekuatan
kepada hamba agar bisa menghadapi semuanya dengan tenang. Aminn Ya Robb.”
Hari yang dinanti telah tiba. Hari ini
adalah hari pertama ujian nasional Rahman. Beberapa bulan terakhir Rahman sudah
belajar dengan sangat tekun sebelum menghadapi Ujian ini. Seperti kata pepatah,
Sedia payung sebelum hujan.
“Ibu. Rahman mohon doa restunya. Hari ini
Rahman akan menghadapi Ujian nasional. Doakan Rahman bu supaya Rahman lulus
dengan nilai yang memuaskan”. Ucap Rahman sambil merunduk di pangkuan ibunya.
“Iya nak, Ibu selalu mendoakan yang
terbaik untukmu wahai anakku”. Jawab ibu Aisyah.
Hari-hari yang menegangkan tersebut telah
usai. Kini Rahman tinggal menunggu hasil dari Ujian tersebut. Rencananya
pengumuman akan berlangsung sekitar sebulan setelah ujian nasional. Kini Rahman
mengisi hari-harinya kembali sembari menunggu pengumuman dengan mengajar Les
dan mengaji anak-anak yang berada di desanya.
“Insya Allah, kalau kita sudah berusaha
dan berikhtiar maka yakinlah usaha kita akan berbuah manis. Mintalah yang
terbaik kepada sang pencipta dan kepada orangtua kita. Yakinkan lah dirimu
Rahman. Kau pasti lulus.” Ujar salah seorang Ustad pada saat meyakinkan Rahman
yang ditemui di Musola tempat Rahman mengajar.
“Terima kasih nasihatnya pak ustadz”.
Jawab Rahman dengan senyum yang melebar.
Hari yang ditunggu pun tiba. Pengumuman
UAN itu menyatakan bahwa Rahman lulus ujian dan berhak melanjutkan sekolahnya
ke Universitas yang diidamkan. Rahman lulus dengan nilai tertinggi. Rahman tak
sabar ingin memberitahu hal ini kepada Ibu dan adiknya. Usai pengumuman, Rahman
kembali ke rumah dan memberitahu ibu dan adiknya.
“Ibuu, Rahman lulus Bu. Rahman meraih
nilai tertinggi bu.” Menyampaikan kegembiraannya kepada ibunya dengan wajah
yang sumbringah.
“Alhamdulillah Rahman, Ibu sangat senang”.
Sujud syukur ibu aisyah lakukan sebagai tanda kesyukurannya
“Ibuu, dimana nantinya Rahman akan
melanjutkan kuliah bu?” tanya Rahman.
“Kamu ingin kuliah nak? Jujur ibu ingin
sekali kamu kuliah di universitas yang kamu dambakan sejak dulu, tapi apalah
daya ibu. Ibu tidak mempunyai banyak biaya untuk kuliahmu.” Jawab ibu.
“Tapi bu, Rahman punya sedikit biaya hasil
dari mengajar anak-anak ngaji bu. Rahman bisa menggunakan itu sebagai biaya
pendaftaan Rahman.”
“Ya sudahlah Rahman, Jika itu keputusanmu
maka lakukanlah.”
Rahman berangkat ke kota kabupaten untuk
mendaftarkan diri ke fakultas yang ia dambakan. Ternyata rahman lulus murni dan
mendapat beasiswa. Selama masa kuliah, Rahman tidak pernah merepotkan ibunya di
desa, kini hidup mandiri.
Usai Rahman diwisuda. Rahman mendapatkan
pekerjaan yang sangat didambakan rahman dari dahulu. Kini ibu beserta adiknya
sudah tinggal di kota, sebab Rahman telah membangunkan rumah untuk ibu dan
adiknya sebagai hasil dari jerih payahnya. Rahman tak pernah merasa sombong
terhadap semua rezeki yang telah diberikan Allah kepadanya. Ia yakin bahwa
semua ini hanyalah titipan baginya dan sewaktu-waktu Allah bisa mencabut
kembali rezekinya.Kriiinggg. Waktu menunjukkan pukul 4.00.
Dengan sigap Rahman terbangun dari mimpi
indahnya semalam. Alarm sederhana pemberian dari salah seorang sahabatnya
berbentuk Manchester United yang berada di sekitar meja belajar itu yang telah
membangunkan Rahman. Rahman sudah terbiasa bangun pada pukul 4.00 dini hari
untuk persiapan menjalankan kewajiban umat muslim. Ia tidak pernah merasa
terbebani dengan aktifitas tersebut, justru Rahman merasa resah dan gelisah
apabila meninggalkan kewajibannya.
Rahman menyusuri rerumputan hijau yang
terlihat basah karena sisa hujan tadi malam yang deras mengguyur desanya.
Sepanjang perjalanan Rahman menuju ke Masjid Al-Munawarah hanya membutuhkan
waktu sekitar 5 menit saja.
Usai menunaikan shalat subuh secara
berjamaah, Rahman hendak kembali ke rumah. Rahman tinggal bersama Ibunya yang
bernama Aisyah dan seorang adiknya bernama Kalisa. Ayah Rahman sudah berpulang
kerahmatullah sejak Rahman berusia 5 tahun. Saat ini Rahman lah yang menjadi
tulang punggung keluarganya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah adiknya
walaupun saat ini Rahman masih duduk di bangku SMA.
“Ibu, Rahman berangkat ke sekolah dulu
yaa”. Ucap Rahman sembari mencium tangan ibunya.
“Iya, hati-hati ya nak. Belajar yang
benar, kelak engkau akan menjadi anak yang membanggakan untuk Ibu”. Ibu Aisyah
mengelus kepala Rahman sebelum Rahman berangkat ke sekolah.
Rahman meninggalkan rumahnya. Di tepi
jalan, terlihat beberapa siswa yang sedang berdiri menunggu angkutan umum, tak
terketinggalan Rahman. Rahman menggunakan angkutan umum menuju ke sekolah sebab
jarak antara rumah dan sekolah rama terbilang cukup jauh dan tidak dapat
ditempuh dengan berjalan kaki.
Di tengah perjalanan, Rahman bergumam
dalam hati, “Ya Allah, jadikanlah hari ini menjadi hari yang lebih baik dari
pada hari kemarin. Aaminn.”
Membutuhkan sekitar 10 menit untuk sampai
di sekolah. Perlahan, Rahman turun dari angkutan umum dan menyodorkan dua
lembar uang seribu kepada supir angkot itu. Langkah demi langkah yang mengantarkan
Rahman hingga ke ruang kelas, tepatnya di kelas 3 Ipa 1. Kurang lebih sebulan
lagi Rahman akan menghadapi Ujian Akhir Nasional yang menentukan apakah ia
lulus dan akan melanjutkan studynya ke perguruan tinggi.
Bel berbunyi pertanda akan dimulainya mata
pelajaran pertama. Rama merupakan siswa teladan di sekolahnya. Ia sering kali
meraih juara kelas dan berbagai prestasi lainnya di bidang akademik maupun non
akademik.
“Pagi anak-anak, maaf ya ibu agak telat
masuknya” Ujar salah seorang guru matematika.
“Pagi, Buuu”, Teriakan kecil siswa Ipa 1.
“Anak-anak, sekarang kalian buka bukunya
Bab 7 mengenai Logatitma dan kerjakan soal Uji Kemampuan yang berada di halaman
102”
Siswa-siswi mengerjakan soal matematika
dengan sangat teliti. Waktu demi waktu telah berlalu, hingga tak terasa bel
pulang telah berbunyi. Siswa berhamburan keluar kelas menuju ke area depan
sekolah.
“Assalamu Alaikum, Ibuuu Rahman pulang
buu”. Teriakan Rahman dari pintu depan rumah sembari mencari Ibunya.
“Waalaikum salam, Rahman sudah pulang?”,
Tanya Ibu Aisyah.
“Iya buu, Rahman capek bu. Oh iya bu,
Sebulan lagi Rahman akan Ujian Nasional bu. Sepertinya untuk beberapa waktu
kedepan Rahman gak bisa ngajar anak-anak Privat bu, soalnya Rahman pengen fokus
sama ujian dulu”.
Sudah 2 tahun lamanya Rahman mengajar
anak-anak di desanya untuk mahir dalam berbahasa inggris.
“Iya terserah Rahman aja, Kalau itu memang
keputusan Rahman, Ibu selalu mendukung dari belakang. Ya sudahh, Rahman makan
siang dulu terus istirahat, di meja ada tempe goreng dan sambel yang sudah ibu
siapkan.” Perintah Ibu Aisyah.
Tak terasa azan magrib sudah berkumandang.
Dengan sedikit tergesa-gesa Rahman mengambil air wudhu kemudian menuju ke masjid.
Selepas shalat magrib, Beberapa doa sempat dipanjatkan Rahman sebagai penutup
shalatnya.
“Yaa Robbi.. senja-Mu telah kembali dan
hambaMu kembali menghampiri. Ya Robbi sebentar lagi hamba akan menghadapi
detik-detik yang sangat menegangkan dalam hidup hamba. Hamba mohon berikanlah
kekuatan kepada hamba agar bisa menghadapi semuanya dengan tenang. Aminn Ya
Robb.”
Hari yang dinanti telah tiba. Hari ini
adalah hari pertama ujian nasional Rahman. Beberapa bulan terakhir Rahman sudah
belajar dengan sangat tekun sebelum menghadapi Ujian ini. Seperti kata pepatah,
Sedia payung sebelum hujan.
“Ibu. Rahman mohon doa restunya. Hari ini
Rahman akan menghadapi Ujian nasional. Doakan Rahman bu supaya Rahman lulus
dengan nilai yang memuaskan”. Ucap Rahman sambil merunduk di pangkuan ibunya.
“Iya nak, Ibu selalu mendoakan yang
terbaik untukmu wahai anakku”. Jawab ibu Aisyah.
Hari-hari yang menegangkan tersebut telah
usai. Kini Rahman tinggal menunggu hasil dari Ujian tersebut. Rencananya
pengumuman akan berlangsung sekitar sebulan setelah ujian nasional. Kini Rahman
mengisi hari-harinya kembali sembari menunggu pengumuman dengan mengajar Les
dan mengaji anak-anak yang berada di desanya.
“Insya Allah, kalau kita sudah berusaha
dan berikhtiar maka yakinlah usaha kita akan berbuah manis. Mintalah yang
terbaik kepada sang pencipta dan kepada orangtua kita. Yakinkan lah dirimu
Rahman. Kau pasti lulus.” Ujar salah seorang Ustad pada saat meyakinkan Rahman
yang ditemui di Musola tempat Rahman mengajar.
“Terima kasih nasihatnya pak ustadz”.
Jawab Rahman dengan senyum yang melebar.
Hari yang ditunggu pun tiba. Pengumuman
UAN itu menyatakan bahwa Rahman lulus ujian dan berhak melanjutkan sekolahnya
ke Universitas yang diidamkan. Rahman lulus dengan nilai tertinggi. Rahman tak
sabar ingin memberitahu hal ini kepada Ibu dan adiknya. Usai pengumuman, Rahman
kembali ke rumah dan memberitahu ibu dan adiknya.
“Ibuu, Rahman lulus Bu. Rahman meraih
nilai tertinggi bu.” Menyampaikan kegembiraannya kepada ibunya dengan wajah
yang sumbringah.
“Alhamdulillah Rahman, Ibu sangat senang”.
Sujud syukur ibu aisyah lakukan sebagai tanda kesyukurannya
“Ibuu, dimana nantinya Rahman akan
melanjutkan kuliah bu?” tanya Rahman.
“Kamu ingin kuliah nak? Jujur ibu ingin
sekali kamu kuliah di universitas yang kamu dambakan sejak dulu, tapi apalah
daya ibu. Ibu tidak mempunyai banyak biaya untuk kuliahmu.” Jawab ibu.
“Tapi bu, Rahman punya sedikit biaya hasil
dari mengajar anak-anak ngaji bu. Rahman bisa menggunakan itu sebagai biaya
pendaftaan Rahman.”
“Ya sudahlah Rahman, Jika itu keputusanmu
maka lakukanlah.”
Rahman berangkat ke kota kabupaten untuk
mendaftarkan diri ke fakultas yang ia dambakan. Ternyata rahman lulus murni dan
mendapat beasiswa. Selama masa kuliah, Rahman tidak pernah merepotkan ibunya di
desa, kini hidup mandiri.
Usai Rahman diwisuda. Rahman mendapatkan
pekerjaan yang sangat didambakan rahman dari dahulu. Kini ibu beserta adiknya
sudah tinggal di kota, sebab Rahman telah membangunkan rumah untuk ibu dan
adiknya sebagai hasil dari jerih payahnya. Rahman tak pernah merasa sombong
terhadap semua rezeki yang telah diberikan Allah kepadanya. Ia yakin bahwa
semua ini hanyalah titipan baginya dan sewaktu-waktu Allah bisa mencabut
kembali rezekinya.