RSS

Cloud in August~


Awan...

Awan yang bagi sebagian orang hanya sebagai penghias langit biru.
Awan yang bagi sebagian orang hanya sebagai sebagian makhluk ciptaan-Nya.
Awan yang bagi sebagian orang berpikir tempat Tuhan menurunkan hujan.
Awan yang bagi sebagian orang adalah suatu tempat terjadinya kondensasi.
Awan yang bagi sebagian orang adalah suatu tanda bencana akan datang.
Terutama bagi awan yang berubah warna menjadi hitam.
Tapi, tidak bagiku.
Awan adalah tempat Tuhan memberikan sumber imajinasi.
Awan adalah tempat aku memandang,
melepaskan kepenatanku dengan memuji-Nya.
Awan adalah tempat yang ingin ku jangkau.
Awan adalah kehangatan tersendiri bagiku.
Awan adalah awal ku melihat seringainya.
Awan...
Saat itulah musim semi telah datang.
Musim semi di hati.
Begini ceritanya...
            Aku mulai menyukai awan sejak aku di sekolah menengah pertama yang biasa disebut dengan Madrasah Tsanawiyah di awal kelas delapan. Bahasanya mungkin bukan menyukai. Tapi, mengabadikan. Aku mulai tertarik mengabadikan awan karena suatu kejadian aneh di lapangan sekolahku yang luas. Di bawah sinar mentari yang terik dengan dinaungi awan jenis Cumulus.
            Adzan Dzuhur telah berkumandang beberapa saat yang lalu. Wajahku sudah bermandikan air wudhu’ yang telah lama mengering karena sudah ku tunaikan sholat Dzuhur berjema’ah. Ku langkahkan kakiku kembali menuju kelas untuk memulai pelajaranku yang selanjutnya. Biologi, menjadi pelajaran yang amat ku sukai kala itu. Seperti biasa, pandanganku selalu tertunduk. Memperhatikan kedua kakiku dengan sepasang sepatu hitam yang menjadi favoritku. Berjalan di tengah teriknya mentari siang.
Karena teriknya mentari, tak sengaja ku menengadah ke atas  mencoba tuk menatap mentari secara langsung. Tapi hal itu selalu gagal ku coba. Tak pernah bisa meski ku berusaha memicingkan kedua mataku. Yang bisa ku tatap hanyalah sekumpulan awan Cumulus yang dari penglihatanku, awan-awan itu terlihat seperti sejajar dengan mentari. Padahal aku sudah tahu, bahwa mentari adalah bintang yang letaknya bermil-mil jauhnya. Tapi, hal itu tak lagi jadi masalah.
Karena tatapanku tak pernah berhasil pada matahari, sasaranku berpindah pada sekumpulan awan-awan Cumulus itu, terasa ada hawa sejuk masuk lewat mataku dan mendarat tepat di hati. Senyuman mengembang di bibirku penuh dengan kekaguman. Tapi hal itu hanya bertahan sebentar. Ku rasa, tak sampai 5 menit. Panas yang menyeruak tak membiarkanku menatap sekumpulan awan-awan itu dengan begitu lama. Angin di sekitar bertiup tipis sekali menerpa jilbabku sampai mereka bergerak sedikit saja.
Sekarang, Aku menurunkan pandanganku menjadi lurus ke depan. Aku berjalan beberapa langkah menuju tempat yanga agak rindang. Di bawah pohon cemara yang tinggi, langkahku berhenti. Mataku memicing untuk kedua kalinya. Apa yang ku lihat? Hal yang membuat bayangan hijau kembali normal dengan sangat cepat, membuat panas yang sedari tadi menimpaku menjadi hawa dingin, membuat angin di sekitarku bertiup lebih cepat, mataku berubah sayu, keringat dingin mengucuri daerah leherku, jantungku seakan berhenti berdegup.
Seorang ikhwan dan 2 orang temannya berjalan dari kejauhan sambil bersenda gurau. Aku tebak, mereka dari kantin. Kedua temannya terlihat tertawa senang. Ikhwan itu hanya tersenyum lebar dengan senyuman khasnya. Memperlihatkan giginya yang agak besar dan berkilat remang terkena sinar mentari. Siang itu, di bawah awan-awan Cumulus (CU), ku lihat senyum termanisnya. Ikhwan itu membuatku jatuh hati di siang bolong. 
Aku terus memandang kejadian aneh itu. Sampai aku pun tersadar, segera kupalingkan wajahku menatap keadaan sekitar. Setelah beberapa detik melihat keadaan sekitar, aku tersadar dia berjalan sudah agak dekat dengan posisiku yang tetap mematung di tempat itu. Jantungku semakin berdegup kencang. Dahiku berkerut merasakan telah terjadi hal aneh pada diriku. Ah, saat itu...  Kami berpapasan.
Saat itulah ikhwan itu menunjukkan sekali lagi seringai mematikannya. Hal itu buatku terkejut dengan mundur satu langkah. Seringainya sama sekali tidak menyeramkan. Tetapi menyejukkan hati. Siapapun yang melihatnya, aku jamin akan langsung jatuh hati. Beberapa langkah ikhwan itu berjalan menjauh, sejak saat itu ku tersadar untuk kedua kalinya, di bawah sekumpulan awan-awan Cumulus yang cerah, dia berjalan semampai di hamparan rumput hijau. Semakin jauh dan jauh.
Tanpa ikhwan itu sadari, dia telah berhasil menghipnotis seorang gadis yang berdiri mematung di bawah pohon cemara. Pandangan untuk yang terakhir kalinya aku rasa, aku seperti melihat lukisan terindah dalam hidupku. Lukisan seorang akhwat ciptaan Allah tengah berjalan di bawah awan Cumulus yang sangat cerah.
Yah, sejak saat itulah boleh di bilang, aku selalu mengabadikan foto awan. Tak perlu kamera SLR ataupun DSLR untuk memotretnya. Aku hanya berbekal kamera kesayanganku, Kodak EasyShare C180. Tak hanya awan Cumulus, jenis awan yang lain juga aku abadikan. Seperti : Stratus, Altocumulus, Sirus, Sirrokumulus, dkk. Kini, sudah seribu lebih koleksi foto awan yang telah berhasil aku abadikan. Bentuknya pun unik-unik.

Dalam hal ini, aku tersadar. Aku hanyalah sebagian kecil makhluk yang Allah ciptakan di bumi ini. Aku hanya bisa bersyukur atas segala nikmat yang aku dapat. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Laa ilaaha Illallaah.