Awan...
Awan
yang bagi sebagian orang hanya sebagai penghias langit biru.
Awan
yang bagi sebagian orang hanya sebagai sebagian makhluk ciptaan-Nya.
Awan
yang bagi sebagian orang berpikir tempat Tuhan menurunkan hujan.
Awan
yang bagi sebagian orang adalah suatu tempat terjadinya kondensasi.
Awan
yang bagi sebagian orang adalah suatu tanda bencana akan datang.
Terutama
bagi awan yang berubah warna menjadi hitam.
Tapi,
tidak bagiku.
Awan
adalah tempat Tuhan memberikan sumber imajinasi.
Awan
adalah tempat aku memandang,
melepaskan
kepenatanku dengan memuji-Nya.
Awan
adalah tempat yang ingin ku jangkau.
Awan
adalah kehangatan tersendiri bagiku.
Awan
adalah awal ku melihat seringainya.
Awan...
Saat
itulah musim semi telah datang.
Musim
semi di hati.
Begini
ceritanya...
Aku mulai menyukai awan sejak aku di sekolah menengah pertama yang biasa
disebut dengan Madrasah Tsanawiyah di awal kelas delapan. Bahasanya mungkin
bukan menyukai. Tapi, mengabadikan. Aku mulai tertarik mengabadikan awan karena
suatu kejadian aneh di lapangan sekolahku yang luas. Di bawah sinar mentari
yang terik dengan dinaungi awan jenis Cumulus.
Adzan Dzuhur telah berkumandang beberapa saat yang lalu. Wajahku sudah
bermandikan air wudhu’ yang telah lama mengering karena sudah ku tunaikan
sholat Dzuhur berjema’ah. Ku langkahkan kakiku kembali menuju kelas untuk
memulai pelajaranku yang selanjutnya. Biologi, menjadi pelajaran yang amat ku
sukai kala itu. Seperti biasa, pandanganku selalu tertunduk. Memperhatikan
kedua kakiku dengan sepasang sepatu hitam yang menjadi favoritku. Berjalan di
tengah teriknya mentari siang.
Karena
teriknya mentari, tak sengaja ku menengadah ke atas mencoba tuk menatap
mentari secara langsung. Tapi hal itu selalu gagal ku coba. Tak pernah bisa
meski ku berusaha memicingkan kedua mataku. Yang bisa ku tatap hanyalah
sekumpulan awan Cumulus yang dari penglihatanku, awan-awan itu terlihat seperti
sejajar dengan mentari. Padahal aku sudah tahu, bahwa mentari adalah bintang
yang letaknya bermil-mil jauhnya. Tapi, hal itu tak lagi jadi masalah.
Karena
tatapanku tak pernah berhasil pada matahari, sasaranku berpindah pada
sekumpulan awan-awan Cumulus itu, terasa ada hawa sejuk masuk lewat mataku dan
mendarat tepat di hati. Senyuman mengembang di bibirku penuh dengan kekaguman.
Tapi hal itu hanya bertahan sebentar. Ku rasa, tak sampai 5 menit. Panas yang
menyeruak tak membiarkanku menatap sekumpulan awan-awan itu dengan begitu lama.
Angin di sekitar bertiup tipis sekali menerpa jilbabku sampai mereka bergerak
sedikit saja.
Sekarang,
Aku menurunkan pandanganku menjadi lurus ke depan. Aku berjalan beberapa
langkah menuju tempat yanga agak rindang. Di bawah pohon cemara yang tinggi,
langkahku berhenti. Mataku memicing untuk kedua kalinya. Apa yang ku lihat? Hal
yang membuat bayangan hijau kembali normal dengan sangat cepat, membuat panas
yang sedari tadi menimpaku menjadi hawa dingin, membuat angin di sekitarku
bertiup lebih cepat, mataku berubah sayu, keringat dingin mengucuri daerah
leherku, jantungku seakan berhenti berdegup.
Seorang
ikhwan dan 2 orang temannya berjalan dari kejauhan sambil bersenda gurau. Aku
tebak, mereka dari kantin. Kedua temannya terlihat tertawa senang. Ikhwan itu
hanya tersenyum lebar dengan senyuman khasnya. Memperlihatkan giginya yang agak
besar dan berkilat remang terkena sinar mentari. Siang itu, di bawah awan-awan
Cumulus (CU), ku lihat senyum termanisnya. Ikhwan itu membuatku jatuh hati di
siang bolong.
Aku
terus memandang kejadian aneh itu. Sampai aku pun tersadar, segera kupalingkan
wajahku menatap keadaan sekitar. Setelah beberapa detik melihat keadaan
sekitar, aku tersadar dia berjalan sudah agak dekat dengan posisiku yang tetap
mematung di tempat itu. Jantungku semakin berdegup kencang. Dahiku berkerut
merasakan telah terjadi hal aneh pada diriku. Ah, saat itu... Kami
berpapasan.
Saat
itulah ikhwan itu menunjukkan sekali lagi seringai mematikannya. Hal itu buatku
terkejut dengan mundur satu langkah. Seringainya sama sekali tidak menyeramkan.
Tetapi menyejukkan hati. Siapapun yang melihatnya, aku jamin akan langsung
jatuh hati. Beberapa langkah ikhwan itu berjalan menjauh, sejak saat itu ku
tersadar untuk kedua kalinya, di bawah sekumpulan awan-awan Cumulus yang cerah,
dia berjalan semampai di hamparan rumput hijau. Semakin jauh dan jauh.
Tanpa
ikhwan itu sadari, dia telah berhasil menghipnotis seorang gadis yang berdiri
mematung di bawah pohon cemara. Pandangan untuk yang terakhir kalinya aku rasa,
aku seperti melihat lukisan terindah dalam hidupku. Lukisan seorang akhwat
ciptaan Allah tengah berjalan di bawah awan Cumulus yang sangat cerah.
Yah,
sejak saat itulah boleh di bilang, aku selalu mengabadikan foto awan. Tak perlu
kamera SLR ataupun DSLR untuk memotretnya. Aku hanya berbekal kamera
kesayanganku, Kodak EasyShare C180. Tak hanya awan Cumulus, jenis awan yang
lain juga aku abadikan. Seperti : Stratus, Altocumulus, Sirus, Sirrokumulus,
dkk. Kini, sudah seribu lebih koleksi foto awan yang telah berhasil aku
abadikan. Bentuknya pun unik-unik.
Dalam
hal ini, aku tersadar. Aku hanyalah sebagian kecil makhluk yang Allah ciptakan
di bumi ini. Aku hanya bisa bersyukur atas segala nikmat yang aku dapat.
Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Laa ilaaha Illallaah.