**Makam
Rato Ebhu terletak di dalam kompleks Pasarean “Aer Mata” terletak 25 km arah
Utara kota Bangkalan, tepatnya di desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten
Bangkalan. Makam Rato Ebhu adalah makam seorang wanita mulia bernama Syarifah
Ambami. Menurut sejarah, Syarifah Ambami adalah keturunan Sunan Gresik ke-5.
Alkisah, tersebutlah pada zaman dahulu,
pada zaman pemerintahan Sultan Agung di Mataram. Pada suatu hari beliau
kedatangan rombongan dari Sampang Madura yang dipimpin oleh Panembahan Juru Kiting.
Maksud dan tujuan kedatangannya adalah untuk menghadapkan seseorang yang
bernama Raden Praseno yaitu salah satu putra Raja Arosbaya yang bernama Raden
Koro yang bergelar Pangeran Tengah.
Setelah maksud kedatangannya dijelaskan
kepada Sultan Agung tentang asal-usul Raden Praseno, kemudian beliau merasa
sangat iba dan menaruh rasa sayang kepada Raden Praseno. Hal ini disebabkan
karena Ia telah ditinggalkan oleh ayahnya ketika Ia masih kecil. Karena itulah,
kemudian Raden Praseno mendapat kepercayaan dari Sultan Agung dan diangkat
menjadi Raja dan diberi kekuasaan di Arosbaya, terletak di Sampang dengan
mendapat gelar Pangeran Cakraningrat I menggantikan pamannya yang bernama
Pangeran Mas. Dan beliau mempunyai seorang permaisuri bernama Syarifah Ambami.
Walaupun Pangeran Cakraningrat I ini
memerintah di Madura, tetapi beliau banyak menghabiskan waktunya di Mataram,
membantu Sultan Agung. Sedangkan pemerintahan di Madura, tetap berjalan dengan
lancar meski beliau berada di Mataram. Melihat keadaan yang demikian, seorang
diri ditinggalkan di Arosbaya, istrinya yakni Syarifah Ambami merasa sangat
sedih. Siang malam beliau menangis meratapi dirinya yang ditinggal suami.
Akhirnya beliau bertekad untuk
menjalankan pertapaan. Kemudian bertapalah beliau disebuah bukit yang terletak
di daerah Buduran, Arosbaya. Dalam pertapaannya itulah, beliau senantiasa
memohon dan berdo’a kepada Yang Maha Kuasa semoga kelak keturunannya sampai
tujuh turunan dapat ditakdirkan untuk menjadi penguasa pemerintahan di Pulau
Madura. Dikisahkan pula bahwa dalam pertapaannya, beliau bertemu dengan Nabi
Hidir as. dari pertemuannya itu pulalah, beliau memperoleh kabarbahwa
permohonannya Insyaallah dikabulkan. Betapa senangnya hati beliau, akhirnya
beliau bergegas pulang kembali ke Sampang.
Selang berapa lama kemudian, Pangeran
Cakraningrat I kembali ke Arosbaya dari Mataram. Istrinya, Syarifah Ambami
menceritakan semua pengalamannya semenjak suaminya berada di Mataram, bahwa beliau
menjalankan pertapaan dan diceritakan pula hasil petapaannya kepada Pangeran
Cakraningrat I.
Setelah selesai mendengarkan ceritanya
istrinya itu, Pangeran Cakranigrat bukanlah merasa senang, akan tetapi beliau
merasa sedih dan kecewa terhadap istrinya. Mengapa hanya berdo’a dan memohon
hanya sampai tujuh turunan. Saja. Melihat kekecewaan Pangeran Cakraningrat I
ini,beliau merasa berdosa dan bersalah terhadap suaminya. Setelah Pangeran
Cakraningrat I kembali ke Mataram, beliau pergi bertapa lagi ketempat
pertapaanya yang dulu. Beliau memohon agar semua kesalahan dan dosa terhadap
suaminya diampuni. Dengan perasaan sedih beliau terus menjalani pertapaannya. Beliau
selalu menangis, mengangis dan terus menangis. Sehingga air matanya mengalir
membanjiri sekeliling tempat pertapaannya, sampai beliau wafat dan dikebumikan
di tempat pertapaannya, yang sampai sekarang dikenal dengan nama : MAKAM AER
MATA atau dalam bahsa orang Madura “Pasarean Aer Mata”.